Senin, 27 Juli 2015

Sudah Seberapa Pantas?

Hai.. kali ini aku menyapa bukan hanya untuk kamu yang belum terdefinisikan yang selalu aku tunggu definisinya, tapi sapaan ini untuk kalian yang mungkin merasakan apa yang aku rasakan saat ini. 


Kenapa aku menulis ini dengan judul "Sudah Seberapa Pantas?" karena ini adalah hal yang aku rasakan sekarang, ini berawal ketika pulang ke kampung halaman. Akhirnya aku menginjakkan kaki di rumah, bertemu bunda yang rambutnya semakin memutih, bertemu dengan ayah yang semakin terlihat keriput diwajahnya, terlihat jelas keduanya semakin menua, namun meskipun begitu tetap terlihat dari raut wajah keduanya begitu sumringah menyambut kedatangan anaknya. Bagi mereka kedatanganku saat itu adalah sebuah pencapaian mereka, mengapa? karena mereka diusia yang semakin senja telah berhasil menunaikan amanahnya pada Yang Maha Cinta untuk memberikan bekal yang tak akan lekang oleh waktu. Iya. ayah bunda saat itu menyambut hangat kedatangan anak bungsunya yang akhirnya menggapai gelar sarjana. pelukan hangat dari keduanya begitu menenangkan, takkan luput dari ingatanku ketika bunda mengecup keningku, sembari mengatakan "akhirnya nak, kamu menunaikan tugasmu" sontak hatiku bergemuruh, bergetar dalam hati sambil mengatakan "bunda.. ini belom ada apa-apanya dengan apa yang telah ayah bunda perjuangkan, lelahku tak ada harganya dibanding dengan lelah ayah bunda dalam usaha memberikanku bekal yang tak ternilai harganya, bunda terimakasih". Uraian air mata tak bisa terbendung saat itu, pelukan erat pun tak ingin aku lepaskan, pelukan bunda tetap dan akan selalu menghangatkan hingga kapanpun. Bunda. Aku mencintaimu.

Berbeda dengan bunda yang begitu ekspresif ketika meluapkan perasaannya. Ayah tidak memelukku, ayah tidak mengecup keningku, ayah tidak melakukan apa yang bunda lakukan. Tidak heran, cinta ayah padaku tak terungkapkan dengan kata, tetapi aku tau, ayah mencintaiku dalam diamnya. Saat itu, ayah mengajakku duduk berdua, berbincang dan bertukar fikiran, ayah mencintaiku dengan caranya sendiri.

Dialog dengan ayah tetap dialog yang selalu aku nantikan, saat berbicara dengannya, menatap matanya, aku selalu beranggapan bahwa Ia lebih dari sekedar ayah, bagiku Ia adalah dosen pribadiku, Ia adalah Pembimbing Utama dalam hidupku, Ia juga adalah satusatunya laki-laki yang teramat sangat mencintaiku, sehingga ketika melihatnya, aku melihat sosok yang selalu aku Syukurkan pada Yang maha Cinta telah menjadikan Ia sebagai ayahku.

Saat itu, di ruangan yang selalu jadi tempat favorit kita untuk berdialog ayah memulai pertanyaannya dengan menanyakan "apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" belum sempat aku menjawab ayah menanyakan kembali pertanyaan lanjutan "mana rekapitulasi dana yang ayah PRkan untuk kamu kerjakan?" pertanyaan yang tak terduga karena belum sempat aku mengerjakannya. Daridulu ayah selalu mengajarkanku untuk melakukan pembukuan, merekap semua dana yang telah dikeluarkan, bertanggung jawab atas amanah yang diberikan. Dan ayah memintanya itu sekarang. Dengan gelengan kepala aku menjawab pertanyaan ayah. Dengan tenang ayah mengatakan, "Kerjakan dulu PR itu ya nak, setelah selesai baru kita diskusi." ketika itu ayah langsung meninggalkanku.

Saat PR ayah telah aku kerjakan, dan menyerahkan rekapitulasi dana padanya, belum sempat ayah membaca hasil kerjaanku, aku langsung mendekap ayah sambil berurai air mata. Ayah gak menolak pelukanku, bahkan Ia mengusap kepalaku, seolah mengerti kenapa aku menangis, tapi beliau tetap diam menunggu hingga aku menyelesaikan tangisku. Dalam tangisku, aku berkata lirih "Ayaah.. maafin aku yaa, aku udah banyak banget ngabisin uang ayah." cuma itu yang mampu aku katakan disela tangisku. Saat tangisku mereda, ayah cuma tersenyum sambil membuka hasil kerjaanku. Masih tetap tersenyum saat menutup kembali PR yang telahku kerjakan ayah mengatakan "Sudah nak nangisnya? gak perlu minta maaf pada ayah, itu sudah menjadi kewajiban ayah untuk mengeluarkannya, itu adalah zakat ayah untuk titipan Allah pada ayah. Ngerti kenapa ayah menyuruhmu untuk membuat ini? bukan karena ayah orang yang perhitungan, tapi karena ayah ingin kamu memiliki rasa tanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan, dan melihatmu menangis dan minta maaf ayah rasa kamu sudah faham maksud ayah apa. Itu pinjaman nak, suatu saat kamu harus mengganti sejumlah dengan apa yang telah ayah berikan. Tapi, bukan pada ayah atau bunda kamu harus gantinya, ayah dan bundamu sudah tak membutuhkan itu lagi, ayah bunda sudah tua, yang mungkin sebentar lagi dipanggil Allah, kamu harus menggantinya entah itu pada keponakanmu, orang yang tak mampu, atau bahkan cucu ayah kelak. Hanya dalam bentuk ilmu yang dibayar sekian rupiah yang hanya mampu ayah berikan untukmu nak, maaf ayah tidak memberikanmu harta yang banyak, tidak memberikan saldo dalam tabunganmu, ayah cuma bisa menyekolahkanmu, kamu tau kan nak, bahwa ilmu itu tidak ada resiko bagi pemiliknya. kecuali pemiliknya meninggal. Allah pun sudah mengatakan kan bahwa akan ditinggikan derajat orang yang berilmu, ayah ingin kamu seperti itu, ayah ingin anak ayah menjadi orang berilmu yang ditinggikan derajatnya oleh Yang Maha Cinta." Semakin berurai air mata saat mendengar penjelasan ayah, bahwa apa yang telah ayah dan bunda lakukan adalah salahsatu caranya mencintai anaknya, cara yang berbeda yang mungkin dilakukan juga oleh orang tua yang membaca tulisan ini :)


Renungannya adalah orang tua telah mengeluarkan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk anaknya, entah itu untuk pendidikan, untuk biaya hidup dan untuk hal lainnya, mereka ikhlas, gak meminta balasan apapun. Jika di flashback dalam hidupku, anggap aja selama kuliah 4 tahun sudah sekian biaya yang dikeluarkan, tapi kadang merenungkan sudah seberapa ilmu yang didapat? sebanding kah dengan biaya yang sudah dikeluarkan? terkadang suka mikir, aku yang hidupnya yang menurut versiku sederhana saja mengeluarkan uang sekian, bagaimana jika mereka yang hidupnya bermewah-mewahan? yang makan pun tiap hari ke cafe yang bisa ditebaklah mengeluarkan berapa uang perharinya? atau yang pulang perginya ke kampung halaman pake pesawat, ongkosnya berapa? Berapa banyak lagi yang telah dikeluarkan? jika dikalkulasikan itu semua selama 4 tahun udah mencapai angak berapa? Belum lagi yang memiliki pacar. Untuk ngasih makan pacarnya atau ngasih sesuatu buat pacarnya pake uang orang tua. Duh. Miris :(. Mungkin bagi mereka bukan hal yang perlu dipersoalkan kali yaa. Tapi sekali lagi ayah mengajarkan ku untuk bertanggung jawab atas apa yang dikeluarkan, bukan masalah orang tua mampu atau tidak, tapi sekali lagi ini soal tanggung jawab. Jadi, sudah seberapa pantas aku, kamu, dan kalian bisa dikatakan sebagai anak berbakti jika masih tidak bertanggung jawab atas apa yang orang tua berikan? jawabannya bisa dijawab oleh masing-masing yaa, aku pun demikian :')

Dear bunda ayah. terimakasih atas caramu mencintaiku seperti ini
Sekali lagi aku bersyukur memiliki pria sepertimu.

Dan hey kamu yang belum terdefinisikan. Aku teramat sangat mencintai ayahku, hingga berharap kamu dapat memperlakukanku seperti ayah memperlakukanku. Plis jangan jealous dengan ayahku ya. Ia adalah superhero yang tak ada tandingannya, kamu pria kedua yang akan aku cintai setelah ayahku, aku harap kamu mengerti :D

Oiia. Hei Kamu, aku udah sukses nih jadi manager ayah, aku udah mampu memanajemen pengeluaran minimal untuk diriku sendiri. Kapan aku jadi manajer, bendahara, dan sekretaris KAMU? haha. hei kamu, udah jangan ketawa! ini cuma intermezzo :)))))))





2 komentar:

  1. duh kakak...., kog jadi promosi gini ??
    itu kalimat terakhir kode atau apaan yaaa?? :'((

    BalasHapus